Di suatu pagi, di
sebuah rumah, di ruang tamu. seorang lelaki muda menghadapi seorang
lelaki setengah baya, bermaksud untuk “merebut” sang perempuan muda dari sisinya.
“Oh, jadi kamu yang mau
melamar itu ?” tanya sang setengah baya
“Iya pak” jawab sang
muda
“Kamu telah mengenalnya
dalam-dalam ?” tanya sang setengah baya sambil melirik sang perempuan
“Iya pak, sangat
mengenalnya” jawab sang muda, mencoba menyakinkan
“Lamaranmu kutolak,
berarti kamu telah memacarinya lama ? tidak bisa. aku tidak bisa mengijinkan
pernikahan yang diawali dengan model seperti itu”
Sang muda tergagap “Engga
ko pak, sebenernya saya hanya kenal sekedarnya saja, ketemu saja jarang-jarang”
“Lamaranmu kutolak. itu
serasa “membeli kucing dalam karung” kan. aku tidak mau kamu akan gampang
menceraikannya karena kamu tidak mengenalnya. jangan-jangan kamu tidak tau aku ini siapa lagi ?”
Ini situasi yang sulit,
sang perempuan mencoba membantu sang lelaki muda. membisikan “Ayah, dia dulu
aktivis loh”
“Kamu dulu aktivis ?”
“Iya pak, saya dulu
sering memimpin aksi di kampus” jawab sang pemuda percaya diri
“Lamaranmu kutolak.
nanti kalau kamu lagi kecewa dan marah sama istrimu, kamu bakal mengerahkan
rombongan teman-temanmu untuk mendemo rumahku ini kan ?”
“Anu pak, engga ko. dulu demonya juga cuma kecil-kecilan. banyak yang ga datang kalau saya yang
suruh berangkat”
“Lamaranmu ku tolak.
lah wong kamu ngatur temanmu saja ga bisa, ko mau ngatur keluargamu ?”
Sang perempuan
membisikan lagi. “Ayah dia pinter loh”
“Kamu lulusan mana ?”
“Saya lulusan teknik
*beken di PTN pak. salah satu kampus terbaik di Indonesia pak”
“Lamaranmu kutolak.
kamu sedang menghinaku yang cuma lulusan STM ini toh ? menganggap aku bodoh
kah ?”
“Engga ko pak. saya
juga ga pinter pinter amat pak. lulusnya saja 5 tahun. ip nya juga dua koma pak”
“Lah, lamaranmu ya
kutolak. kamu saja bego gitu gimana bisa mendidik anak-anakmu kelak ?”
Bisikan itu datang
lagi. “Ayah dia sudah bekerja loh”
“Jadi, kamu sudah
bekerja ?”
“Iya pak. saya bekerja
sebagai marketing. keliling jawa dan sumatera jual produk saya pak”
“Lamaranmu kutolak.
kalau kamu keliling dan jalan-jalan begitu, kamu ga bakal sempet memperhatikan
keluargamu”
“Anu ko pak.
kelilingnya jarang-jarang. produknya saja ga terlalu laku”
“Lamaranmu tetap
kutolak. lah kamu mau kasih makan keluargamu apa, kalau kerja saja ga becus
begitu ?”
Bisikan kembali. “Ayah,
yang penting kan dia bisa membayar maharnya”
“Rencananya maharmu apa
?”
“Seperangkat alat
shalat pak”
“Lamaranmu kutolak.
kami sudah punya banyak. maaf”
“Tapi saya siapkan juga
emas satu kilogram dan uang limapuluh juta pak”
“Lamaranmu kutolak, kau
pikir aku matre, mau menukar anakku dengan uang dan emas begitu ? maaf anak
muda, itu bukan caraku”
Bisikan. “Dia jago IT
loh yah”
“Kamu bisa apa itu,
internet ?”
“Oh ya pak. saya rutin
pakai internet, hampir setiap hari saya nge-net”
“Lamaranmu kutolak.
nanti kamu cuma nge-net tok. menghabiskan anggaran untuk internet dan ga ngurus
anak istrimu di dunia nyata.”
“Tapi saya nge-net cuma
ngecek email saja ko pak”
“Lamaranmu kutolak,
jadi kamu ga ngerti facebook, twitter, blog, youtube ? aku ga mau punya mantu
gaptek gitu”
Bisikan. “Tapi ayah..”
“Kamu kesini naik apa ?”
“Mobil pak”
“Lamaranmu kutolak.
kamu mau pamer toh kalau kamu kaya. itu namanya riya. nanti hidupmu juga boros.
harga BBM kan makin naik”
“Anu, saya cuma
dibonceng mobilnya temen ko pak. saya ga bisa nyetir”
“Lamaranmu kutolak. lah
nanti kamu minta diboncengi istrimu juga ? ini namanya payah. memangnya anakku
supir ?”
Bisikan. “Ayahh..”
“Kamu merasa ganteng ya
?”
“Engga pak, biasa aja
ko”
“Lamaranmu kutolak.
mbok kamu ngaca dulu sebelum melamar anakku yang cantik ini.”
“Tapi pak. sebenarnya di kampung banyak juga yang naksir saya ko pak”
“Lamaranmu kutolak.
kamu berpotensi playboy. nanti kamu bakal selingkuh”
Sang perempuan kini
berkaca-kaca. “Ayah, tidak bisahkah ayah tanyakan soal agamanya, selain tentang
harta dan fisiknya ?”
Sang setengah baya
menatap wajah sang anak, dan berganti menatap sang muda yang sudah menyerah
pasrah. “Nak, apa adakah yang
kau hapal dari Al-Qur’an dan Hadis ?”
Sang pemuda telah putus
asa. tak lagi merasa punya sesuatu yang berharga, pun pada pokok soal ini ia
menyerah. “Maaf pak, dari 30 juz, saya cuma hapal juz ke 30, itupun yang
pendek-pendek saja. hadist pun cuma dari Arba’in yang terpendek pula”
Sang lelaki setengah baya
tersenyum. “Lamaranmu kuterima anak muda. itu cukup. kau lebih hebat dariku.
agar kau tahu saja, membacanya saja pun aku masih tertatih”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar